Sunday, February 20, 2011

jangan mengeluh, nona!

Praaanng!!!!!
Piring cantik hadiah pemberian dari almarhumah oma pada saat pernikahan ayah dan bunda itu pecah berantakan pada saat aku ingin mengambil tas untuk lari ke mobil akibat terburu-buru karena bangun tidur kesiangan.
“Ah! Bibi bersihkan pecahan piring itu dan buang jauh jauh ya jangan sampai ketahuan sama ayah ataupun bunda!”, teriakan kerasku sudah mengagetkan bibi yang sedang memasak di dapur dan langsung berlari ke arah meja makan.
“Iya non iya akan bibi bereskan sampai bersih.”, suara lirih bibi menjawab perintahku dengan sigap.
Braakk!!
Pintu mobil aku banting dengan kencang sampai membuat Pak Tikno kaget. Pak Tikno adalah supir pribadiku sejak aku belum lahir, beliau sudah sekitar 30-an tahun bekerja sebagai supir keluargaku jadi ya sudah dianggap seperti keluarga sendiri saja.
“Pak! Sepatu putih yang biasa ada dimobil dimana pak? Kok gak ada sih?”, aku mencari sepatu putih kesayanganku yang selalu ada didalam mobil.
“Pak Tikno enggak tau Non sepatunya ada dimana soalnya saya enggak bongkar bongkar mobil dari kemarin.”, seperti biasa Pak Tikno selalu tanggap setiap aku beri pertanyaan.
Aku terus mengobrak-abrik isi mobilku untuk mencari sepatu putih kesayanganku itu. Aku cari sampai aku loncat ke kursi belakang mobil yang berisi banyak sekali barang-barangku. Dan....
“Ah! Sial! Aku baru ingat kalo sepatu itu ada dibelakang pintu kamarku”, aku terus saja berbicara sendiri.
Pasti kalian bingung mengapa aku terlalu ngotot buat mencari sepatu itu dan memakai sepatu itu. Ya perkenalkan namaku Chlarine Jasmine. Aku adalah cewek eksis di SMA Golden Star yang merupakan SMA terbaik dan ter-favorit di kota tempat tinggalku. Sebagai cewek eksis yang diperhatikan banyak orang membuatku harus berpakaian modis walaupun ketika memakai seragam sekolah sekali pun.
120..119..118..117......
“Ah! Kenapa kena lampu merah lagi sih? Gak tau apa ini gue udah telat woy!!! Cepetan kek ijonya aaaaaaahh!!!!!”, sambil memukul mukul kursi depanku aku berteriak teriak seperti orang gila dan tentunya Pak Tikno tetap sabar menghadapi tingkah kekanak-kanakanku ini.
“Sabar, Non Arin.”, tetap dengan senyum khasnya Pak Tikno menenangkanku dan panggilanku di rumah adalah Arin.
“Mudah mudahan sepuluh menit lagi sampai ke sekolah, Non.”, Pak Tikno melanjutkan usahanya menenangkan diriku.
“Apa? Sepuluh menit? Bahkan pintu gerbang sekolahku tutup tiga belas menit lagi! Ti-ga-be-las-me-nit!!!! Mau jadi apa aku dihukum sama Bu Feny lagi? Atau mungkin sekarang si monster Pak Ruli? Ah! Sudahlah! Pasrah saja aku!”, aku menggerutu dalam hati tidak ada habis habisnya.
Setelah melewati lampu merah itu perjalanan menjadi lebih lancar tetapi ketika akan berbelok ke arah sekolahku. Dak! MACET TOTAL!!!!!
“Pak ini ada apa lagi sih?”, sudah habis kesabaranku menanggapi kejadian menyebalkan pagi ini.
“Wah, saya juga tidak tau ada apa Non didepan sana.”, kembali lagi dengan senyum khasnya Pak Tikno mencoba menenangkanku tapi tunggu dulu, ada yang berbeda dengan senyum Pak Tikno hari ini. Tidak seperti biasanya.
“Ah! Aku turun disini aja deh Pak! Biarin deh aku naik ojek aja ke sekolah!”, sambil membereskan barang barangku aku bersiap turun dari mobil.
“Nona yakin mau naik ojek saja?”, dengan wajah khawatir Pak Tikno meyakinkan dirinya sendiri kalau aku mau naik ojek ke sekolah.
“Iya Pak! Sudah ya nanti aku pulang jam 3 sore.”, seraya membuka pintu mobil dan turun dari mobil aku mengingatkan Pak Tikno untuk tidak telat menjemput.
“Siap Non!”, Pak Tikno menjawab setengah berteriak dari dalam mobil.
Kriiiiiiing!
Ya aku sampai disekolah tepat waktu bahkan sangat amat tepat waktu. Aku langsung turun dari ojek yang aku naiki dan segera berlari menuju gerbang sekolah yang masih terbuka tiga langkah sebelum aku berhasil melewatinya. Aku terlambat hanya beberapa detik saja tapi tetap saja tidak ada ampun.
“Ah! Telat kaaaaaaaann telat telat telat! Mau diapain nih sama..........PAK RULI!!!!!! Ya Tuhan mau diapain nih aku?”, sambil berlari kecapekan aku berusaha mencapai gerbang sekolah semampuku.
Hap! Sampai juga di gerbang sekolah....
“CHLARINE JASMINE KELAS SEBELAS IPA SATU!!!”, suara Pak Ruli serasa memecahkan semua rasa capekku berlari.
“Oke! Aku siap dihukum apapun hari ini!”, aku hanya bisa bicara dalam hati sambil berjalan mendekati ke arah Pak Ruli berdiri.
“Telat berapa kali kamu?”, pertanyaan Pak Ruli membuatku ciut karena ini ketiga kalinya aku terlambat masuk sekolah.
“Tadi cuma tiga detik doang kok Pak! Ti-ga-de-tik Pak! Iya Cuma tiga detik!”, yap aku langsung membela diri sebelum dicecar oleh pertanyaan yang menyudutkanku.
“Bapak tanya kamu sudah telat berapa kali bukan tadi kamu telat berapa lama! Katanya siswi berprestasi tapi ditanya begitu saja tidak mengerti!”, suara monster satu ini mulai meninggi dan ya aku kalah.
“Sudah ti...ti...ti....ga kali Pak.”, suara tanda aku kalah pun berhasil keluar dari mulutku walaupun dengan pelan sekali.
Aku sudah pasrah sekali akan diapakan oleh Pak Ruli di pagi yang suram ini. Dengan wajah tertunduk lesu aku benar benar pasrah akan dijadikan adonan apa oleh guru ter-killer se-antero sekolah ini.
“Baiklah!”, pembukaan keputusan Pak Ruli ini membuat keringatku mengalir lebih deras.
“Bapak bolehkan kamu masuk kelas tetapi lari keliling lapangan basket tiga putaran dulu.”, keputusan besar yang aku tunggu pun akhirnya keluar juga dan ternyata tidak seburuk yang aku kira.
“Oh iya Pak terima kasih.”, luapan lemas kebahagiaanku karena hukumannya ternyata tidak sekejam yang aku bayangkan.
Lapangan basket itu sepertinya sudah siap menyambutku untuk aku lari kelilingi. Oke aku langsung tancap memulai hukuman itu dengan berlari satu putaran lalu dua putaran dan akhirnya selesai! Langsung saja aku masuk lari ke dalam kelas karena akan ada tes kecil pelajaran pertama.
“Permisi Bu!”, aku lari terengah-engah masuk ke dalam kelas.
“Sudah cepat kamu masuk Chlarine.”, Bu Seira seperti biasa tetap baik menyuruhku masuk.
Aku langsung berlari ke tempat dudukku dan menyiapkan semua peralatan tulis untuk mengerjakan tes kecil tetapi tunggu dulu....ada yang berbeda dari teman teman sekelompokku tapi apa ya? Dan aku tau! Mereka semua tidak memakai sepatu alias nyeker!
“Cia, sepatu lo mana?”, karena penasaran aku tanya ke Cia dimana gerangan sepatunya.
“Tadi ada inspeksi mendadak Rin! Terus sepatu kita kita kena deh! Lo tau sendiri kan kita kalo pake sepatu kayak gimana?”, wajah si Cia sudah cukup menggambarkan perasaan teman temanku yang lain.
“Oh gitu. Sabar ya! Ntar lo ambil aja di ruang wakasek.”, aku hanya dapat memberi saran dan bernafas lega dalam hati.
“Oh tadi tuh si Pak Ruli gak ngasih hukuman berat soalnya hari ini gue pake seragamnya bener toh.”, bicara dalam hati saja aku ketika mendengar cerita dari Cia.
Hari itu menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan untukku. Rasanya ingin sekali cepat mendengar bel tanda pulang sekolah kemudian pulang dan istirahat dikamarku tercinta.
Kriiiiiiing!
“Oke gue balik duluan ya semuanya! Dadaaah....”, sambil membereskan buku-buku aku langsung secepat kilat keluar kelas dengan harapan bisa langsung masuk mobil dan pulang.
Kelas terakhirku berada di lantai tiga dan dengan sebisa mungkin aku berlari menuruni tiap anak tangga menuju ke gerbang sekolah dan berharap Pak Tikno sudah ada disana. Hap! Hap! Hap! Tiga anak tangga terakhir sudah kulewati dengan sigap. Kemudian aku berlari menuju gerbang dan halo! Tidak ada tanda tanda Pak Tikno disana. Aku lihat mobilku saja juga tidak ada di antrean mobil yang ingin menjemput disana.
“Haduh kemana ya Pak Tikno ? kok tumben banget sih telat jemput? Yaudah deh tunggu aja sebentar lagi paling juga muncul.”, aku akhirnya menunggu Pak Tikno di tempat satpam sekolah.
Karena terlalu capek melewati hari itu aku pun tidak sadar ketiduran di tempat satpam. Aku pun bangun juga karena dibangunkan oleh satpam sekolah. Dan Pak Tikno tidak datang juga. Aku pun langsung ke gerbang sekolah dan memberhentikan taksi yang lewat. Ya, akhirnya aku pulang naik taksi.
Sesampainya dirumah aku melihat ternyata mobilku masih terparkir di garasi rumahku. Aku bingung dan langsung masuk kedalam rumah untuk mencari keberadaan Pak Tikno.
“Bibiiiiiiiiii......Pak Tikno mana sih? Kok gak jemput aku tadi? Aku tuh nungguin tau! Sampe ketiduran di tempat satpam sekolah! Kok gak ngabarin sih kalo gak bisa jemput? Aku tuh hari ini capek banget tau bi! Ini lagi pake ada acara gak dijemput! Gak bilang dulu lagi!”, terus saja aku mengomeli Bibi.
“Gini Non Ariiiinn.......”, Bibi mulai menjawab.
“Tolong panggilin Pak Tikno deh Bi aku mau ngomong langsung. Cepet ya!”, pikiran yang sudah ruwet membuatku semakin semena semena dengan Bibi.
“Iya Non jadi gini tadi itu Pak Tikno udah siap siap manasin mobil mau ngejemput ke sekolah tapi tiba tiba ada kabar kalau anaknya koma Non. Jadi sudah dari tiga hari yang lalu anaknya Pak Tikno dirawat di rumah sakit dan keadaannya kritis. Jadi gitu Non ceritanya.”, dengan setengah ketakutan melihat kemurkaanku Bibi menjelaskan semuanya padaku.
“KENAPA PAK TIKNO GAK CERITA KE AKU BI?”, rasa bersalah langsung menusukku yang menyimpulkan kejadian tadi itu sendiri.
“Pak Tikno gak mau nyusahin Non Arin katanya apalagi Tuan sama Nyonya lagi pergi ke luar negeri juga. Takut Non jadi susah katanya.”, penjelasan Bibi yang serasa langsung menamparku.
“Ya Tuhan Pak Tikno aja mikirin aku sampai segitu detilnya sedangkan aku apa? Kerjaanku cuma ngeluh aja, ngeluh ini itu. Gak pernah kayaknya aku mikirin orang lain yang ada disekitarku bahkan Pak Tikno yang udah nganterin aku kemana mana dari kecil. Ya Tuhan maaf....”, air mataku langsung menetes melewati pipi tembemku dengan deras.
“BIBI AYO ANTERIN AKU KE RUMAH SAKIT!!! AKU MAU LIHAT KEADAAN ANAKNYA PAK TIKNO!! CEPETAAANN!!!!!!”, aku langsung menarik Bibi dan mengajaknya ke rumah sakit.
Dalam perjalanan aku cuma bisa menangis saja dan Bibi yang menenangkanku.Ya, Bibi dan Pak Tikno adalah orang orang yang benar benar tahu perkembangan diriku ini karena Ayah dan Bunda hampir tidak pernah ada di rumah kecuali di akhir pekan itu pun hanya sesekali. Sampai di rumah sakit, akhirnya. Aku langsung ke resepsionis dan menanyakan dimana anak Pak Tikno dirawat. Setelah mendapat ruangannya aku langsung berlari kesana.
Sampai juga aku didepan ruang melati nomor 3B itu. Aku hanya melihat Pak Tikno sendirian berdiri di depan kamar itu dengan tatapan kosong melihat lurus kedepan. Langsung saja aku menghampirinya. Tapi tunggu dulu, aku mendengar suara tangisan dari dalam kamar. Hal itu tentu saja membuatku bergegas berlari ke arah Pak Tikno.
“Gimana kabar anak Bapak? Sudah lebih baik kan?”, Pak Tikno kaget sekali melihat aku sudah berada disampingnya.
“Kok Non Arin ada disini? Sama siapa kesininya? Naik apa?”, pertanyaan Pak Tikno justru makin membuatku bersalah karena tidak peduli dengannya.
“Udah pak gak penting tapi yang penting sekarang tuh gimana kabar anak Bapak?,” muka Pak Tikno langsung berubah ketika aku tanya.
“Lima belas menit yang lalu dia menghembuskan nafas terakhir Non.”, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku merasa aku lah yang menyebabkan ini semua.
“Maaf ya Pak gara gara aku jadi begini semuanya. Maaf aku gak bisa bales semua kebaikan Bapak selama ini. Maaf aku terlalu manja padahal harusnya aku udah gede. Maaf cuma bisa bisa nuntut. Maaf kalo aku selalu marah tiap pagi. Maaf.........”, belum sempat aku melanjutkan kata kata ku Pak Tikno langsung memelukku.
“Sudah Non ini semua terjadi karena kehendak Tuhan. Setiap kejadian pasti ada niat baik yang disisipkan oleh Tuhan. Jadi tugas kita adalah mencari apa sebenarnya niat baik dari Tuhan itu.”, Pak Tikno memandangku dengan tatapan meyakinkanku.
“Bukan hanya sekedar kata maaf yang Tuhan inginkan dari hambaNya. Berubah lah! Tuhan sayang sama Nona jadi Tuhan memberi ini semua sebagai jalan untuk Nona berubah. Ingat! Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan Maha Pemaaf dan Tuhan Maha Penyayang. Tuhan punya caraNya sendiri untuk mengubah hambaNya. Kita semua sayang Nona! Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas.”, kata kata itu langsung menamparku dan aku baru ingat kalau hari ini hari ulang tahunku!
“Terima kasih Tuhan karena Engkau masih sayang kepadaku dengan mengingatkanku. Terima kasih atas usia ini. Terima kasih untuk semua nikmat yang telah Engkau berikan selama aku hidup ini. Aku janji akan terus bersyukur atas semua yang Engkau berikan. Aku tau sekarang kalau kebaikan itu sudah pasti nikmat tetapi keburukan itu adalah nikmat yang dalam pemaknaannya. Aku mau berubah Tuhan! Aku janji!”, janji terakhirku pada Tuhan sebelum mobil itu menabrak dan mengambil nyawaku. Setidaknya aku bisa meninggalkan dunia dengan tersenyum.
Sekarang aku bisa tersenyum melihat ke dunia disana. Aku bahagia orang yang disekitarku bahagia dengan kebahagiaan yang sudah direncanakan dengan indah oleh Tuhan.
***
“Nah udah selesai dek ceritanya! Yuk tidur sekarang,” Rissa mengajak putranya Vino untuk tidur.
“Ma, aku sekarang mau jadi anak yang lebih bersyukur ah! Bersyukur itu indah ya Ma.”, tatapan polos anak itu membuat Rissa terharu. Anak kecil berusia lima tahun sudah bisa bicara seperti itu.
“Iya sayang! Yuk sekarang bobo dulu. Tuhan udah nyuruh adek buat bobo tuh.”, sambil menyelimuti badannya Rissa bersyukur pada Tuhan telah dikirimi malaikat kecil seperti ini.
“Bobo ya sayang.”, kecupan dikening sebagai pengantar tidur Rissa berikan dengan segenap cinta.
“Iya ma. Aku sayang mama.”, senyuman anak ini membuat Rissa merasa menjadi ibu paling bahagia sekarang.
“Mama juga sayang adek.”, Rissa berjalan keluar kamarnya dan menutup pintunya dengan damai.

Created by: qonita sukma hutami


1 comment:

  1. first comment huh?
    keep it up qoni,, hehehe ^^

    ReplyDelete