Sunday, November 6, 2011

Batuan Segar Itu Rindu Aslinya

Bukan. Bukan itu pondasi yang aku tahu. Rumah ini telah berganti pondasi dan sudah barang tentu konstruksi dari bangunan ini pun ikut berubah. Lalu apa yang aku tahu sekarang? Aku tak mengenal lagi rumah ini walau aku tinggal didalamnya. Orang-orang itu telah mengacaukan pondasi yang sudah ada dengan semau mereka lalu mengganti tiang-tiang penyangga dan juga konstruksi bangunan ini sesuai dengan keperluan mereka. Pondasi kini berubah menjadi lebih dangkal dan aku takut rumah ini akan runtuh karena pondasinya tak kuat menopang. Lantai rumah yang aku kenal beralaskan kayu-kayu jati yang kuat dan kokoh bukan dari lumpur bercampur gas seperti ini. Tiang-tiang penyangganya pun aku hanya akrab dengan besi dan baja yang tak bisa tergoyahkan bukan emas dan tembaga dari timur ini. Dan yang paling aku tak mengerti adalah rumah ini tanpa atap. Miris.
Merdeka. Demokrasi. Berdaulat. Kata-kata yang sebenarnya bermakna ‘dalam’ tersebut menjadi seperti sampah di zaman modern dengan tingkat mobilitas manusia yang semakin meningkat, apalagi di kota-kota besar. Apa yang mereka bilang merdeka kalau masih ada pemukiman kumuh yang berada tepat dibelakang perkantoran megah di kawasan senayan? Apa yang mereka sebut demokrasi kalau keputusan yang menaungi hajat hidup orang banyak hanya diputuskan oleh segelintir orang dengan kepentingan golongannya sendiri? Apa maksud kata berdaulat kalau rakyat hanya dianggap sebagai kelinci percobaan kebijakan dan pemanis sebuah negara? Omong kosong.
Indonesia begitu besar, megah dan kokoh. Setidaknya itu yang aku tahu, pelajari serta yakini hingga saat ini. Tak ada satu pun bangsa di dunia ini yang dapat mengalahkan bangsa Indonesia. Hanya Indonesia yang mampu hidup dalam tingkat kemajemukan yang cukup tinggi. Bahkan karena terlalu mampunya orang kaya bisa hidup bersebelahan dengan gubuk tempat pemulung melepaskan mimpinya kala bulan menyapa. Kebanggaankah? Pastor yang dibunuh tepat didepan gereja saat lonceng dibunyikan oleh sekumpulan orang yang katanya berjihad. Biasakah? Atau mungkin melihat mobil-mobil bergoyangan di taman lawang saat malam mulai merambah pagi. Wajarkah? Aku bangga bukan karena hal bodoh yang dilestarikan seperti itu. Aku bangga karena pendiri bangsa dan negara ini telah merancang semuanya dengan indah dan luar biasa, pada awalnya. Seiring dengan berjalannya waktu aku tak lagi melihat hal yang aku banggakan. Mereka mengubah semuanya, mengubah kodrat yang seharusnya tidak seperti ini, ya mereka memang berlaku seolah-olah dirinya Tuhan.
Sila demi sila telah disusun secara indah dengan ikatan benang merah yang kuat didalam tubuh Pancasila dengan harapan akan terus dijadikan pedoman untuk melakukan setiap tindakan yang menyangkut hajat bangsa dan negara Indonesia. Amandemen adalah salah satu tindakan salah yang fatal dalam kekokohan ‘rumah’ ini. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 merupakan pantulan rinci dari batuan segar yang kita kenal dengan sebutan pancasila yang pada kenyataannya ‘diacak-acak’ oleh sekelompok orang yang tidak kenal batuan segar itu telah menjadi landasan bagi pondasi tempat kita berpijak.
Dunia makin semu walaupun katanya informatif. Sejarah bungkam. Manipulasi bicara. Realita diam. Rekayasa berkeliaran. Informasi makin tak terarah. Menyalahkan yang benar, membenarkan yang salah. Aku takut. Takut akan teknologi yang semakin mengadu domba. Batuan segar itu rindu aslinya, bukan seperi yang sekarang ini. ‘Batu’ itu kehilangan tempat dijajaran pixel pixel yang menghasilkan karya digital. Ia memang terkubur sejak dulu tetapi sekarang semakin mendalam dan semakin menghilang tanpa rasa. Caranya mudah untuk mengembalikan batuan itu menjadi segar, hanya dengan mengembalikan pantulan rinci dari yang dihasilkan oleh batuan segar itu seperti sedia kala maka batuan itu sudah pasti akan menjadi segar kembali.
Pemuda seharusnya menjadi penggerak bukan penonton. Negara ini mungkin tidak lebih menarik dibandingkan dunia maya yang menyuguhkan banyak hal menarik untuk kehidupan semu masa kini. Formulasi sejarah harus diubah menjadi lebih kekinian tanpa mengubah substansial yang ada didalamnya. Mereka butuh itu ditengah pengapnya dunia yang semakin semu. Batuan segar itu tak bisa hanya disirami dengan kesemuan karena ia dilahirkan nyata.

No comments:

Post a Comment